Sibolga, gardariau
Moment dalam mengisi Kemerdekaan Indonesia di tanah Tapanuli Tengah (Sibolga), Sumatera Utara, yang jatuh pada tanggal 17 Agustus, sebagian keluarga anak – cucu veteran menyempatkan diri mendatangi tempat makam Kapten Bongsu Pasaribu, Pahlawan Nasional asal Tapanuli Tengah di Makam Pahlawan Sibolga untuk menabur bunga.
Sementara
ditempat kelahiran sang pahlawan dilahirkan, warga desa setempat pada tanggal
itu merayakannya dengan membuat acara drama “Sidos” yang diprankan oleh
anak-anak muda di rumah para veteran. Suasanya terlihat seperti nyata menirukan
perjalanan sejarah dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Untuk
setiap tanggal 17 Agustus, para tentara veteran, LVRI, bahkan pencari jejak
sejarah perjuangan Komandan Harimau Mengganas Tapanuli pun masih terus mencari,
mengumpulkan bukti bukti otentik sejarah sepak terjang sang pahlawan yang sudah
terabaikan oleh pemerintah, untuk diangkat kembali untuk dibukukan.
Sebelumnya,
ratusan rombongan dipimpin langsung Bupati Tapanuli Tengah, Drs Tuani L.Tobing,
LVRI Tapteng, Dandim 0211/TT Letkol Kav Albiner Sitompul juga didampingi
Panitia Bedah Buku ‘Gugurnya Kapten Bongsu Pasaribu’ yang di Ketua i Raja Johan
Sitompul, tokoh masyarakat serta sejumlah wartawan cetak dan elektronik
mendatangi kampung halaman sang pahlawan di Desa Hutagodang, Kecamatan Sorkam,
Tapanuli Tengah.
Rombongan
ini dalam penyelusurannya mengunjungi tempat makam sang pahlawan, dimulai dari
Makam Pahlawan Sibolga, diteruskan ke tempat Tugu Monumen Perjuangan di
Kecamatan Sorkam hingga ke rumah keluarga dan rumah para veteran di Desa
Hutagodang. “Di desa kelahiran sang komandan, rombongan menyaksikan rumah dan
desa tempat kelahiran sang pejuang, serta jembatan dan monumen untuk mengenang
perjuangan sang komandan. Bersama rombongan, turut serta penulis buku ‘Gugurnya
Kapten Bongsu Pasaribu’, yakni Dr Sudung Parlindungan Lumbantobing.
SANG
PAHLAWAN DIPENGGAL BELANDA
Komandan
Harimau Mengganas Tapanuli, Kapten Bongsu Pasaribu gugur di medan perang,
Harakka, tanggal 3 Maret 1949 secara tidak manusiawi oleh kebiadaban Tentara
Belanda dengan memenggal leher hingga putus. Potongan Kepala ditinggalkan di
penjara Barus, dan potongan tubuh lainnya di tanah kelahirannya,
Desa Hutagodang yang sekarang telah di pindahkan ke Makam Pahlawan Sibolga.
Riwayatnya
demikian. Pasangan suami – istri Raja Pandapotan Pasaribu dan Barita Mopul br.
L mempunyai dua anak laki laki yakni Raja Johannes Pasaribu (Yang Saat Sebelum
Dibunuh Masih Menjabat Kepala Kampung) dan Bongsu Pasaribu (Yang Saat
Sebelum Dibunuh Masih Komandan Harimau Mengganas Tapanuli Berpangkat Kapten)
yang lahir pada tanggal 15 Juni 1923, di Desa Hutagodang.
Kedua
kakak adik kandung itu gugur di medan perang untuk mempertahankan Kemerdekaan
Indonesia. Setelah Kapten Bongsu Pasaribu tewas di penggal, besoknya giliran
abangnya, Raja Johannes Pasaribu tewas ditembak persis di kepalanya, setelah
ditangkap dan diintrogasi oleh tentara belanda. Mayatnya di makamkan di halaman
rumahnya, di Desa Hutagodang hingga sekarang.
Setelah
Indonesia merdeka, sayangnya keluarga yang ditinggal pergi oleh kedua kakak
adik pahlawan Kemerdekaan itu tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah dan
bahkan sejarah kedua pahlawan diabaikan. Karena itulah keluarga yang
ditinggalkan, anak, Cucu terus berharap agar ada perhatian dari
Pemerintah Pusat dan Daerah agar menepati janjinya membuatkan Tugu Perjuangan
ditempat kelahiran sebagai tanda jasa atas kepahlawanan kedua kakak-adik.
Bukti
sejarah adalah, kalau mengenal Maraden Panggabean (Purn. Jenderal, yang juga
mantan Pangab di orde baru), beliau adalah seperjuangan Kapten Bongsu Pasaribu
pada zaman penjajahan Belanda, satu kesatuan di Kesatuan Harimau Mengganas
yaitu sebagai Komandan Sektor IV. Sementara dr. Ferdinand Lumban Tobing
menjabat sebagai Gubernur Militer Tapanuli.
Jabatan
Kapten Bongsu Pasaribu lainnya sebelum agresi Belanda Ke II, yaitu pada zaman
penjajahan Jepang. Beliau telah membentuk Angkatan Pemuda dan beliau menjabat
sebagai Komandan Kompani hingga berubah namanya saat itu menjadi T.K.R (Tentara
Keamanan Rakyat), dengan nama kesatuan sebagai Komandan Harimau Mengganas
Tapanuli. Sekitar waktu satu tahun berjalan yaitu pada Tahun 1946, T.K.R
berubah nama (dilebur) menjadi namanya adalah T.R.I (Tentara Republik
Indonesia) hingga akhirnya TNI.(Tentara Nasional Indonesia).
Pada
zaman penjajahan Kolonial Belanda, sangat jarang ada penduduk pribumi yang
dapat duduk dibangku sekolah. Bisa dikatakan hanya orang-orang tertentu saja
atau anak Kapala Nagari dan para pedagang rempah-rempah. Apalagi untuk bisa
mengenyam kejenjang sekolah H.I.S (Hindia Indhise School) kota Sibolga.
Rasanya tidak mungkin.
Tetapi
beruntunglah Kapten Bongsu pada zaman itu karena memiliki kakak yang bernama
Raja Johannes Pasaribu yang baik hati dan tidak mengenal menyerah dalam
memperjuangkan adiknya kandungnya itu agar menjadi manusia yang terpandang di
masyarakat karena masuk sekolah H.I.S.
Jika
hanya berharap dari pekerjaan orangtua yang sebagai petani rasanya tidak
tercapai. Selain fisik. Beliau didukung pula dari materiil yang mana kedudukan
Raja Johannes Pasaribu pada zaman itu (tanggal 3 Maret Tahun 1932), telah
dipilih rakyat Hutagodang sampai kepengangkatan diangkat menjadi pejabat Kepala
Kampung Hutagodang. Sehingga Kapten Bongsu yang dikenal sangat pintar,
berkepribadian pemimpin dan memiliki bakat, membuat di sekolahnya selalu
terdepan. Kepintarannya Kapten Bongsu juga telah dibuktikan dengan tamat
sekolah dari H.I.S Sibolga untuk melanjutkan.
Dari
H.I.S. Kapten Bongsu masuk sekolah jenjang lebih tinggi pada Quick Shcool di
Tarutung (Tapanuli Utara) dan dari Quick Shcool beliau juga tamat sekolah.
Setelah mendapat persetujuan kakaknya Raja Johannes, beliau merantau ke kota
kembang Bandung (Jawa Barat) untuk sekolah tentara disana. Di Bandung beliau
ternyata juga mampu masuk ke Kadester Shcool, hingga bisa tamat. Selanjutnya,
setelah penjajah tentara Jepang masuk ke tanah air Indonesia. Oleh sang kakak,
Kapten Bongsu disuruh untuk pulang kekampung halaman di Hutagodang (Sibolga).
Di Sibolga, tentara Jepang sangat memerlukan tenaga prajurit yang berpengalaman
tentara untuk membantu. Maka saat itu Kapten Bongsu terpilih dan oleh tentara
Jepang dia dilatih menjadi tentara Gygun dan hingga mulai menyandang pangkat
sebagai Gyiusoi (Opsir). Singkat cerita berakhir penjajahan Jepang di negara
Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia di Jakarta melalui Presiden Soekarno
Hatta menyatakan kemerdekanya yang jatuh pada Tanggal 17 Agustus Tahun 1945.
Kapten
Bongsu kembali aktif lagi berjuang yaitu pada bulan Nopember Tahun 1945, beliau
membentuk Angkatan Pemuda se-kota Sibolga dan dibawah kepemimpinanya.
Saat itu Kapten Bongsu terpilih menjadi pejabat Komandan Kompani 1 (satu) atau Komandan Kesatuan Harimau Mengganas Tapanuli yang namanya saat itu adalah T.K.R (Tentara Keamanan Rakyat). Sekitar waktu satu tahun berjalan yaitu pada Tahun 1946, T.K.R berubah nama (dilebur) menjadi namanya adalah T.R.I (Tentara Republik Indonesia) dan Kapten Bongsu dipercaya menjadi menjabat sebagai Komandan Batalyon II (dua). Hingga akhirnya jabatan Komandan Batalyon II itu diserahterima kepada bernama Marhasam Hutagalung. Sementara itu Kapten Bongsu dipercayakan menjabat sebagai pejabat Staf Resimen III dengan Komandan Pandapotan Sitompul.
Saat itu Kapten Bongsu terpilih menjadi pejabat Komandan Kompani 1 (satu) atau Komandan Kesatuan Harimau Mengganas Tapanuli yang namanya saat itu adalah T.K.R (Tentara Keamanan Rakyat). Sekitar waktu satu tahun berjalan yaitu pada Tahun 1946, T.K.R berubah nama (dilebur) menjadi namanya adalah T.R.I (Tentara Republik Indonesia) dan Kapten Bongsu dipercaya menjadi menjabat sebagai Komandan Batalyon II (dua). Hingga akhirnya jabatan Komandan Batalyon II itu diserahterima kepada bernama Marhasam Hutagalung. Sementara itu Kapten Bongsu dipercayakan menjabat sebagai pejabat Staf Resimen III dengan Komandan Pandapotan Sitompul.
Pada
zaman itu. Di daerah seluruh Tapanuli telah dijadikan menjadi satu Gubernur
yang dipimpin oleh Gubernur Militer bernama Dr. Ferdinan Lumban Tobing.
Sementara
untuk pengamanan daerah – daerah keseluruhan Tapanuli, itu dibagi atas berbagai
Sektor pertahanan. Puncuk pimpinan atau Komandan Sektor I itu dipegang oleh
bernama Bejo, meliputi kekuasaan didaerah Padang Sidempuan (Tapanuli Selatan)
wilayah di Muara Sipongi.
Sementara,
Komandan Sektor II dipegang bernama Belprit Malau meliputi kekuasaan didaerah
Tarutung (Tapanuli Utara), Komandan Sektor III dipegang bernama Slamat Ginting
meliputi kekuasaan didaerah Sidingkalang (Tanah Karo), Komanda Sektor IV
dipegang bernama Maraden Panggabean meliputi kekuasaan di daerah Sibolga /Aek
Raisan, ( Purn. Jenderal masa orde baru), Komandan Sektor S dipegang bernama
Simanjuntak dan MA Aritonang meliputi kekuasaan didaerah Sibolga, dan – Mobil
Brigade bernama Sabar Gultom meliputi daerah Poriaha. Angresi Ke II Belanda
Pada tahun 1947, Negara Belanda kembali melancarkan Agresi yang ke II di tanah
air diseluruh pelosok Indonesia. Untuk masuk ke daerah daerah termasuk menjajah
Kota Sibolga.
Pejabat
tertinggi di Tapanuli waktu itu adalah Gubernur Militer Tapanuli bernama
Dr.Ferdinan Lumban Tobing. Dr. Ferdinan Lumban Tobing bersama Komandan Sektor
IV bernama Maraden Panggabean (yang sekarang Purn. Jenderal di orde baru)
langsung mengistruksikan kepada semua Komandan Raund untuk mengatur pengamanan
didaerahnya masing masing. Komandan Sektor IV Maraden Panggabean telah membagi
Sektor IV Tapanuli yang dipimpinnya. Maka Kapten Bongsu Pasaribu yang menjadi
satu satunya seorang kepercayaan terpanggil dan menjadi Komandan Raund I
(kesatuan Harimau Mengganas) untuk daerah kekuasaan di Sorkam dan Barus
(Sibolga). Sementara Sinta Pohan ditunjuk sebagai Komandan Raund II untuk
wilayah kekuasaan diderah Bonandolok, Komandan Raund III bernama Bangun Siregar
untuk kekuasaan diwilayah daerah Sibolga beserta S.M Simarangkir.
Komandan
Raund IV bernama Parlindungan Hutagalung ditunjuk didaerah Jalan Tarutung,
Komandan Raund V bernama Agus Marpaung untuk kekuasaan diwilayah daerah
Poriaha, Komandan Raund VI bernama Henneri Siregar untuk wilayah daerah Jalan
Tarutung, Komandan Raund VII bernama Paul Lumban Tobing untuk wilayah daerah Sibolga,
Komandan Raund A sebagai pengawal Sektor IV oleh P. Hasibuan , dan Komandan
Sektor S, Majit Simanjuntak dan M.A Aritonang untuk wilayah daerah Sibolga dan
Barus Keberadaan tentara Belanda pada zaman angresi ke II di kota Sibolga, itu
bermula ketika mereka terlebih dahulu melakukan penembakan – penembakan dari
jarak jauh melalui pantai lautan Sibolga dengan Kapal Y.T.I Belanda.
Perlawanan
sengitpun pecah dengan pasukan tentara pejuang Indonesia hingga
berminggu-minggu lamanya. Namun karena alat persenjataan pasukan yang pimpinan
Maraden Panggabean terbatas. Pasukan itu terpaksa bersembunyi di hutan untuk
menyelamatkan nyawa masing-masing. Akhirnya tentara Kolonial Belanda dapat
memenangkan peperangan di Kota Sibolga dan memasuki sudut-sudut kota melalui
laut yaitu pada tanggal 24 Desember 1948, itu setelah mereka memukul mundur
para pasukan pejuang kemerdekaan Indonesia. Kapten Bongsu Pasaribu dengan
pasukannya langsung ditugaskan oleh Komandan Maraden Panggabean zaman itu untuk
bergerak menjaga wilayah Barus dan Sorkam sekitarnya. Beliau beserta pasukan
berangkatlah menuju daerah Sorkam melalui bukit-bukit hutan hingga meneruskan
perjalannya sampai ke Kampung Hutagodang di Kecamatan Sorkam. Kedatangan
Komandan Kapten Bongsu dan pasukanya disambut gembira oleh rakyat Hutagodang.
Beliau juga menyempatkan diri mengunjungi rumah orangtuanya untuk meminta doa
restu dari ibunya.
Disana
pasukan beliau membuat satu markas pertahanan yang bernama Hubangan. Dari
tempat pertahanan Hubangan, oleh Komandan Kapten Bongsu kembali mengatur semua
pasukannya yang mana nama pasukannya itu adalah Kesatuan Harimau Mengganas atau
disebut Raund I, Sektor IV. Selanjutnya mereka menuju daerah Sorkam
(kecamatan). Karena disana beliau sudah mengetahui bahwa ada keberadaan tentara
Belanda. Adapun diantara anggota-anggota kesatuan Hariamau Mengganas adalah
bernama, Majit Simanjuntak sebagai wakil, Humehe Rambe (Pengatur Pertahanan).
Bernama Gontar Lubis sebagai ajudan dan Staff, Kanor Samosir, Hombar Tambunan,
Padet, Jaimi, Tanjung, Mian Tambunan, Mauli Panggabean,
Bili Matondang, Ayat Tarihoran, Panemet Pasaribu, Masin Panggabean, Fliang, Kadi HT, Uruk, Mancur, Mancit, Krisman Marbun, Mahasan Aritonang, Usia Pane, Salmon Nainggolan dan Kartolo Pasaribu. Sementara untuk Seksi Perbekalan diantaranya bernama, Dior Nainggolan, Raja Johanis Pasaribu, Freodolin Purba dan Amit Simatupang yang ada di pasar Sorkam.
Bili Matondang, Ayat Tarihoran, Panemet Pasaribu, Masin Panggabean, Fliang, Kadi HT, Uruk, Mancur, Mancit, Krisman Marbun, Mahasan Aritonang, Usia Pane, Salmon Nainggolan dan Kartolo Pasaribu. Sementara untuk Seksi Perbekalan diantaranya bernama, Dior Nainggolan, Raja Johanis Pasaribu, Freodolin Purba dan Amit Simatupang yang ada di pasar Sorkam.
Sementara
pasukan tentara Belanda yang dipimpin Komandan Van Hali datang dengan membawa
tentara Nepis termasuk Simurai dari Kota Sibolga dengan konvoi besar yang
hendak mau ke Sorkam untuk bermarkas. Itu setelah mereka berhasil menguasai
Sibolga. Sesampainya tentara Belanda dikampung Gontingmahe atau sampai ditengah
pertengahan jalan. Pasukan Komandan Kapten Bongsu menghadang atau menghadapi
perang dan terjadilah pertempuran I (satu) yang sengit berbuntut menyebar
sampai ke perkampungan Parlimatohan. Tetapi disebabkan oleh kurangnya alat
persenjataan dan sebaliknya tentara Belanda memiliki senjata yang serba lengkap
pasukan Komandan Kapten Bongsu banyak yang gugur.
Di
kampung Harakka oleh pasukan Komandan Kapten Bongsu terus melakukan pengejaran
hingga terjadilah pertempuran yang dimulai sejak pagi hari sekira Jam 9 sampai
siang jam 12. Dapat dikatakan pasukan musuh banyak sekali yang tewas. Bahkan
musuh tidak berkutik sama sekali yang akhirnya mereka sebagian terus melarikan
diri menyelamatkan nyawa masing masing karena tidak mempunyai daya lagi
disebabkan kekurangan perbekalan maupun peluru senjata. Peperangan itu sudah
selesai dan tidak ada lagi suara tembakan baik dari Komandan Bongsu, maupun
Belanda. Oleh Komanda Kapten Bongsu mengirah semua tentara musuh sudah gugur
dan tidak ada lagi yang hidup kecuali yang melarikan diri. Maka Komandan Kapten
Bongsu beserta dua orang prajuritnya memutuskan untuk melihat para mayat yang
bergelimpangan. Beliau turun mengadakan operasi pembersihan yaitu memeriksa
satu persatu mayat tentara musuh akibat dari pertempuran yang hebat itu.
Setibanya mereka disana, masih ada dua orang lagi dari tentara Belanda yang
masih hidup yang segaja bersembunyi disatu kubangan bekas Kerbau. Dari kubangan
kedua tentara Belanda itu ditemani Tajim Sitanggang (mata mata) Belanda.
Melihat
posisi Komandan Kapten Bongsu yang sedang berjalan kaki saat itulah tentara
belanda yang sembunyi di kubangan langsung melepaskan tembakan kearah Komandan
Kapten Bongsu. Peluru senjata api yang dimuntahkan, dengan tembakan bertubi
tubi tersebut. Satu peluru akhirnya mengenai kaki Komandan Kapten Bongsu.
Baliau langsung tersungkur ke tanah bersimbah darah. Tak puas dengan sampai
disitu, kedua tentara musuh kembali memuntahkan peluruh dari senjatanya tepat
mengenai kakinya lagi. Komandan Kapten Bongsu masih sempat mengadakan
perlawanan dengan membalas menembak dari senjatanya. Akhirnya Kapten Bongsu
tidak bisa berkutik lagi. Melihat itu, salah seorang Tentara Belanda terus
menembakin.
Tajim
(mata mata) kembali memberitahukan kepada kedua tentara Belanda itu, bahwa yang
mereka tertembak itu tidak lain adalah Komandan Kesatuan Harimau Mengganas,
Kapten Bongsu Pasaribu. Selanjutnya tidak berapa lama tentara Belanda
menghampirinya. Tentara itu mengakhiri hidup Komandan Kapten Bongsu dengan cara
yang sadis dan tidak manusiawi yaitu dengan memenggal lehernya sampai putus
dimana waktu itu pada tanggal 3 Maret 1947. Kepala beliau terpisah dengan
badan, lalu diangkat dibawa pergi ke Pasar Barus dipertontonkan kepada rakyat
Indonesia. Badannya yang masih tergeletak ditanah sengaja ditinggal tergeletak
begitu saja tempat asal dibunuh. Setelah Belanda pergi ke Barus, potongan badan
yang lainya yaitu potongan mulai dari leher ke kaki yang masih tergeletak
dihutan dijemput oleh pasukan beliau dan dibawah ke kampung Sijungkang, disana
potongan badan itu dikuburkan.
Sementara
tentara Belanda yang bermarkas di Barus masih terus mempertontonkan potongan
kepala Komandan Kapten Bongsu kapada para rakyat dan kepada para tahanan. Yang
maksud untuk melemahkan perjuangan pasukan Indonesia di Pasar Barus agar
girilyanya melemah. Potongan kepala ditenteng dalam karung itu dimulai markas
di Harakka sampai ke Kota Barus. Pada hari yang ketiga, potongan beliau
dikuburkanlah di Komplek penjara Barus. Setelah Bongsu Pasaribu gugur pada
tanggal 3 Maret 1949. Maka puncuk pimpinan sebagai Komandan Round akhirnya
dipegang sementara oleh Humahe Rambe dan kemudian diganti kepada Muliater
Simatupang. Bersambung …..
Posting Komentar